Selasa, 03 Juli 2007

KEMISKINAN DI KABUPATEN KARAWANG SUATU TINJAUAN TENTANG KEMANUSIAAN

Karawang yang dikenal sebagai salah satu daerah sentra produksi pangan yang mampu memenuhi kebutuhan beras bukan hanya tingkat propinsi bahkan tingkat nasional. Kenyataan pahit yang kita lihat ternyata masih banyak masyarakat yang justeru kesulitan untuk membeli beras, hal ini bertolak belakang dengan predikat yang disandang Kabupaten Karawang sebagai Lumbung Padi.
Kemiskinan itu bukan sekedar istilah umum yang berkembang di Karawang, kemiskinan relatif yang muncul dan juga dapat terlihat jelas khususnya pasca krisis ekonomi yang melanda negeri ini, tingginya angka pengangguran akibat perusahaan yang menutup kegiatan usahanya dipercayai menjadi sumber utama persoalan kemiskinan itu. Disisi lain kemiskinan absolut menjadi semakin bertambah, mereka yang tadinya mampu memenuhi kebutuhan dasar menjadi tidak mampu berbuat banyak selain menunggu bantuan dari pemerintah.
Dalam beberapa paparan dijelaskan bahwa kemiskinan menjadi momok bagi pembangunan daerah. Tetapi pada dasarnya tidak satupun manusia yang dilahirkan dibumi ini untuk menjadi orang miskin dan tidak satupun orang berkeinginan untuk menjadi miskin. Mereka yang miskin lebih disebabkan oleh lingkungannya, dengan kata lain lingkungan yang telah menciptakan masyarkat miskin, maka lingkungan pula yang perlu dijadikan sumber perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Anggapan lain yang mempercayai bahwa konsentrasi pemerintah lebih banyak ditujukan untuk membantu masyarakat miskin bukan kepada sumbernya (lingkungan) tetapi kepada individu masyarakat itu sendiri, padahal teori mengatakan apabila mereka yang miskin diberi bantuan hanya untuk kebutuhan konsumsinya semata, maka mereka akan tetap menjadi miskin. Hal ini menjadi persoalan pelik bagi pemerintah.
Secara fisik pembangunan di Karawang tampaknya terus mengalami peningkatan, dan itu pun terjadi di Kota (atau kawasan dekat perkotaan), masyarakat di desa tampaknya sama sekali tidak mengerti dan memahami bahkan sama sekali tidak menikmati indahnya pembangunan didaerahnya. Distribusi pendapatan masyarakat yang terjadipun sama sekali tidak seimbang, aliran pendapatan dari desa menuju kota sangat besar dibandingkan sebaliknya, hal ini menyebabkan mengapa kota menjadi semakin mewah dengan pembangunan sementara desa sama sekali sulit (jika tidak bisa dianggap mampu untuk membangun) untuk berubah.
Orang didesa yang dengan susah payah mengumpulkan pendapatannya (yang jauh bila dibandingkan pendapatan orang kota) untuk memenuhi kebutuhannya tetapi justeru sebagian besar pendapatannya mengalir dengan deras menuju kota. Untuk kondisi seperti ini semestinya pihak terkait (pemerintah, lembaga dan organisasi kemasyarakatan serta perguruan tinggi) dapat mengkaji dan menelaah kembali bila perlu dilakukan survey bagaimana aliran distribusi masyarakat dan arus konsumsi masyarakat di dua wilayah tersebut (kota dan desa) terjadi, sehingga akan diperoleh data ketimpangan pendapatan yang akurat sebagai informasi.
Masyarakat desa dianggap demikian lugu dengan kondisi lingkungannya, sedikit sekali temuan dan inisiatif serta gagasan yang dapat berkembang dan mampu menciptakan potensi dan keunggulan komparatif, sebagian kecil contohnya adalah desa yang memiliki potensi pertanian yang luas (sebagian besar desa di Karawang memilikinya) tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mampu menjadikan potensi tersebut sebagai keunggulan bersaing dengan desa yang justeru tidak memiliki potensi tersebut, telah banyak kejadian yang mencatat bagaimana para petani menuntut perbaikan kesejahteraan disektor pertanian dan hal itu terus berlangsung hingga kini.
Mengapa hal tersebut terjadi di Karawang ?, Kabupaten yang diyakini sebagai pusat Industri dan pertanian di Jawa Barat. salahkah pemerintah dalam menetapkan strategi pembangunannya ?, apakah kualitas sumber daya manusia di Karawang yang masih rendah ?. Berbagai pertanyaan muncul dan tanpa satupun yang berani mengemukakan jawabannya, kenapa ?.
Semuanya kembali kepada bagaimana sebuah sistem dijalankan, hukum sinergis dalam pelaksanaan pembangunan menjadi pedoman yang terlupakan. Hubungan sinergis antara pemerintah, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan dan berbagai instansi terkait tampaknya belum menunjukkan kesamaan prinsip dan pemikiran sehingga terkesan berada dalam jalur yang bersebrangan.
Secara umum masyarakat mengetahui apa itu Lingkaran kemiskinan, setiap pemerintah menggulirkan program bantuan bagi masyarakat terdapat beberapa skema yang mencantumkan alur kemiskinan masyarakat, misalnya beberapa pertanyaan yang berhubungan “mengapa miskin?” salah satu jawabannya “karena tidak sekolah, sehingga tidak bisa bekerja”, kemudian “mengapa tidak bekerja?” jawabannya akan kembali ke atas yaitu “Karena Miskin”. Tidaklah mudah memutus rantai kemiskinan, meskipun diketahui sumber yang membuat masyarakat miskin tetapi itu memrlukan waktu dan konsekwensi yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.

MENGAPA LAHAN PEKARANGAN SEBAGIAN BESAR MASYARAKAT DI KARAWANG TIDAK PRODUKTIF ?

Masyarakat Jakarta mulai keranjingan hobi memanfaatkan lahan pekarangan untuk ditanami sayuran dan tanaman lain yang dapat menghasilkan uang, berbagai model dan teknik penanaman di kembangkan demikian juga dengan banyaknya tulisan yang mengulas tentang bagaimana lahan dapat menjadi lebih produktif, mulai dari teknik vertikultur sampai dengan metode hidroponik pun mulai digemari.

Wajar saja jika warga Jakarta mulai mengembangkan budidaya tanaman dengan cara seperti itu karena semakin terbatasnya lahan pertanian, bayangkan saja untuk mengolah pertanian dengan teknik konvensional paling tidak dibutuhkan luas lahan ribuan meter bahkan hektaran, Warga Jakarta tidak memiliki lahan seluas itu, selain itu paradigma berfikir warga yang berkembang jauh lebih baik untuk menciptakan beragam inovasi.

Lain di Jakarta tentu lain pula di Karawang, luas lahan pekarangan penduduk di karawang khususnya di pedesaan terhitung cukup luas jika dibandingkan dengan kebanyakan perumahan di perkotaan, namun luas lahan pekarangan tersebut umumnya tidak menghasilkan apa-apa alias tidak produktif, kebanyakan warga bercocok tanam dengan cara konvensional sehingga membutuhkan lahan yang cukup luas, namun sayangnya produksi pertanian dan perkebunannya relative belum mampu menjadi unggulan karena kualitas produk yang rendah sebagai akibat dari perawatan yang tidak optimal.

Ketergantungan warga terhadap lahan yang luas untuk bercocok tanam menjadi persoalan, pengetahuan untuk menggunakan metode penanaman dengan teknik modern pun belum mereka kuasai sehingga banyak diantaranya yang kemudian tidak dapat menjalankan usaha bertani karena factor keterbatasan lahan dan pola konvensional yang mereka kuasai.

Dalam sebuah tulisan yang di terbitkan Harian Kompas yang diperoleh dari situs http://www.kompas.com yang ditulis Oleh Dr. ROCHAJAT HARUN menyatakan bahwa perlunya menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu untuk mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
"Vertikultur adalah cara pertanian yang hemat lahan. Sangat cocok diterapkan di daerah permukiman padat," kata Edi Junaedi, pemerhati masalah pertanian kota dari Konphalindo (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Alam dan Hutan Indonesia).
Dalam satu kesempatan berbincang dengan seorang kawan dari daerah Selatan Karawang yaitu Kecamatan Tegalwaru, seorang aktivis lingkungan hidup yang juga gemar mengembangkan sektor pertanian dan lingkungan Ahmad Rakhmat, SE seorang pendiri organisasi lingkungan hidup “Oepas Korak” yang berkiprah untuk mengembangkan daerahnya yang memang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Kenyataan bahwa sektor pertanian menurutnya memang belum mendapatkan perhatian yang serius, dalam artian bahwa perkembangannya khususnya di daerahnya pengelolaan sektor pertanian masih bersifat konvensional, hal ini terlalu rawan dengan kondisi alam di Tegalwaru yang kebanyakan masih hutan, jika saja warga tetap beranggapan bahwa untuk bercocok tanam dibutuhkan laha yang luas, maka dampaknya pasti akan membuka lahan baru dihutan, dan ini berakibat pada kerusakan hutan tersebut, jadi alangkah lebih baik jika dilakukan upaya untuk mengembangkan teknik pertanian modern untuk mengantisipasi munculnya kerusakan tersebut.

Lain lagi dengan pendapat kawan dari Kecamatan Telukjambe Edi Yusuf Sugianto, SE yang sekarang ini sedang tertarik untuk mengembangkan pertanian dengan metode Vertikultur, keterbatasan lahan pertanian yang menggugah keinginannya untuk mengembangkan metode tersebut, kesibukannya sebagai pengelola Program Kegiatan Belajar Masyarakat “Bina Sejahtera” Telukjambe Timur memberikan inspirasi untuk mengikutsertakan pula siswa belajar dalam kegiatan pertanian, ini akan memberikan tambahan wawasan dan keterampilan serta kecakapan hidup bagi para siswa, sehingga diharapkan mereka akan mengembangkan usaha pertanian yang lebih berkualitas dikemudian hari.

Pada bulan Juni 2007 lalu koresponden dari Jepang Prof Dr. Kenichiro Arai mengirimkan artikel mengenai teknik pertanian Jepang yang modern, saya memintanya untuk dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan saya yang mungkin menjadi bahan untuk dikembangkan di Karawang, Warga Jepang memang telah mengembangkan teknik tersebut sejak dulu, mereka lebih banyak menggunakan metode hidroponik atau vertikultur dan metode lainnya untuk menanam sayuran dan buah-buahan, hal ini dilakukan karena keterbatasan lahan pertanian di Jepang sehingga teknik ini berkembang dengan baik.

Lalu mengapa teknik pertanian dengan metode tersebut sangat jarang dikembangkan di Karawang ?, persoalannya mungkin karena luas lahan pertanian di Karawang masih cukup luas, atau mungkin karena teknik tersebut belum dikuasai oleh warga, jika saja lahan pekarangan rumah dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat, tentunya luas lahan pertanian dan perkebunan yang adapun dapat dimanfaatkan lebih optimal lagi, tidak seperti sekarang ini dimana lahan pertanian dan perkebunan masih relatif kurang produktivitasnya.

Mungkin anda mempunyai pendapat yang sama dengan saya mengenai hal ini.