Karawang yang dikenal sebagai salah satu daerah sentra produksi pangan yang mampu memenuhi kebutuhan beras bukan hanya tingkat propinsi bahkan tingkat nasional. Kenyataan pahit yang kita lihat ternyata masih banyak masyarakat yang justeru kesulitan untuk membeli beras, hal ini bertolak belakang dengan predikat yang disandang Kabupaten Karawang sebagai Lumbung Padi.
Kemiskinan itu bukan sekedar istilah umum yang berkembang di Karawang, kemiskinan relatif yang muncul dan juga dapat terlihat jelas khususnya pasca krisis ekonomi yang melanda negeri ini, tingginya angka pengangguran akibat perusahaan yang menutup kegiatan usahanya dipercayai menjadi sumber utama persoalan kemiskinan itu. Disisi lain kemiskinan absolut menjadi semakin bertambah, mereka yang tadinya mampu memenuhi kebutuhan dasar menjadi tidak mampu berbuat banyak selain menunggu bantuan dari pemerintah.
Dalam beberapa paparan dijelaskan bahwa kemiskinan menjadi momok bagi pembangunan daerah. Tetapi pada dasarnya tidak satupun manusia yang dilahirkan dibumi ini untuk menjadi orang miskin dan tidak satupun orang berkeinginan untuk menjadi miskin. Mereka yang miskin lebih disebabkan oleh lingkungannya, dengan kata lain lingkungan yang telah menciptakan masyarkat miskin, maka lingkungan pula yang perlu dijadikan sumber perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Anggapan lain yang mempercayai bahwa konsentrasi pemerintah lebih banyak ditujukan untuk membantu masyarakat miskin bukan kepada sumbernya (lingkungan) tetapi kepada individu masyarakat itu sendiri, padahal teori mengatakan apabila mereka yang miskin diberi bantuan hanya untuk kebutuhan konsumsinya semata, maka mereka akan tetap menjadi miskin. Hal ini menjadi persoalan pelik bagi pemerintah.
Secara fisik pembangunan di Karawang tampaknya terus mengalami peningkatan, dan itu pun terjadi di Kota (atau kawasan dekat perkotaan), masyarakat di desa tampaknya sama sekali tidak mengerti dan memahami bahkan sama sekali tidak menikmati indahnya pembangunan didaerahnya. Distribusi pendapatan masyarakat yang terjadipun sama sekali tidak seimbang, aliran pendapatan dari desa menuju kota sangat besar dibandingkan sebaliknya, hal ini menyebabkan mengapa kota menjadi semakin mewah dengan pembangunan sementara desa sama sekali sulit (jika tidak bisa dianggap mampu untuk membangun) untuk berubah.
Orang didesa yang dengan susah payah mengumpulkan pendapatannya (yang jauh bila dibandingkan pendapatan orang kota) untuk memenuhi kebutuhannya tetapi justeru sebagian besar pendapatannya mengalir dengan deras menuju kota. Untuk kondisi seperti ini semestinya pihak terkait (pemerintah, lembaga dan organisasi kemasyarakatan serta perguruan tinggi) dapat mengkaji dan menelaah kembali bila perlu dilakukan survey bagaimana aliran distribusi masyarakat dan arus konsumsi masyarakat di dua wilayah tersebut (kota dan desa) terjadi, sehingga akan diperoleh data ketimpangan pendapatan yang akurat sebagai informasi.
Masyarakat desa dianggap demikian lugu dengan kondisi lingkungannya, sedikit sekali temuan dan inisiatif serta gagasan yang dapat berkembang dan mampu menciptakan potensi dan keunggulan komparatif, sebagian kecil contohnya adalah desa yang memiliki potensi pertanian yang luas (sebagian besar desa di Karawang memilikinya) tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mampu menjadikan potensi tersebut sebagai keunggulan bersaing dengan desa yang justeru tidak memiliki potensi tersebut, telah banyak kejadian yang mencatat bagaimana para petani menuntut perbaikan kesejahteraan disektor pertanian dan hal itu terus berlangsung hingga kini.
Mengapa hal tersebut terjadi di Karawang ?, Kabupaten yang diyakini sebagai pusat Industri dan pertanian di Jawa Barat. salahkah pemerintah dalam menetapkan strategi pembangunannya ?, apakah kualitas sumber daya manusia di Karawang yang masih rendah ?. Berbagai pertanyaan muncul dan tanpa satupun yang berani mengemukakan jawabannya, kenapa ?.
Semuanya kembali kepada bagaimana sebuah sistem dijalankan, hukum sinergis dalam pelaksanaan pembangunan menjadi pedoman yang terlupakan. Hubungan sinergis antara pemerintah, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan dan berbagai instansi terkait tampaknya belum menunjukkan kesamaan prinsip dan pemikiran sehingga terkesan berada dalam jalur yang bersebrangan.
Secara umum masyarakat mengetahui apa itu Lingkaran kemiskinan, setiap pemerintah menggulirkan program bantuan bagi masyarakat terdapat beberapa skema yang mencantumkan alur kemiskinan masyarakat, misalnya beberapa pertanyaan yang berhubungan “mengapa miskin?” salah satu jawabannya “karena tidak sekolah, sehingga tidak bisa bekerja”, kemudian “mengapa tidak bekerja?” jawabannya akan kembali ke atas yaitu “Karena Miskin”. Tidaklah mudah memutus rantai kemiskinan, meskipun diketahui sumber yang membuat masyarakat miskin tetapi itu memrlukan waktu dan konsekwensi yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar